Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Mohamed yakin bahwa kami adalah pemesan mobilnya. Mungkin karena kami hanya satu-satunya turis yang masih kelayapan tengah malam di area stasiun. Saat kami keluar dari stasiun dan kebingungan mencari Mohamed di antara mobil lainnya, dia memanggil dan menyambut kami. Mohamed membukakan pintu bagasi mobil Mercedes-nya, dengan sigap ia membantu kami memasukkan dan menata barang bawaan. “Oh, kalian membawa bayi?” Mohamed terlihat sedikit terkejut saat aku mengangkat Aisyah dari kereta dorongnya.
Urusan kereta dorong ini kadang merepotkan, karena kebetulan yang kami punya lumayan memakan tempat saat dilipat. Walau demikian, kereta dorong ini begitu banyak manfaatnya, aku rasa tidak ada yang seberguna ini yang mampu bermanuver dengan berpenumpang dua orang anak. Walau desainnya untuk satu orang anak duduk di kursi, namun terdapat tatakan kaki bagi anak yang lebih besar agar dapat berdiri di belakangnya. Jika kereta dorong lainnya terdapat dua kursi untuk tandem, namun ini cukup satu. Jika kereta dorong lain yang berkursi satu menggunakan buggy board yaitu papan tambahan bagi anak yang lebih besar agar dapat didorong bersama, maka ini sudah terdapat tatakan kaki.
Sungguh urusan kereta dorong ini adalah hal yang penting bagi orang tua yang memiliki bayi dan balita di negara maju. Karena transportasi public terasa aman dan nyaman, kereta dorong memudahkan orang tua bepergian membawa anak-anak mereka. Biasanya selalu terdapat ruang di dalam bus, kereta, atau trem bagi kursi roda dan kereta dorong bayi. Budaya berjalan kaki juga terkadang merepotkan jika berjalan bersama anak balita, kereta dorong ini begitu memudahkan. Tentu saja, trotoar dan area pejalan kaki begitu nyaman bagi orang tua membawa anak-anak mereka dengan kereta dorong. Apalagi cuaca di negara 4 musim begitu cepat berubah, jika angin dingin menerpa, panas menantang terik, hujan datang tiba-tiba maka anak akan tetap aman berlindung di dalam kereta dorong.
Aku segera membuka pintu mobil belakang, agar anak-anak segera dapat beristirahat. Yogy terlihat kikuk karena salah membuka pintu depan, dia membuka pintu supir di bagian kiri. Belgia dan negara-negara Eropa adalah penganut right-driving countries dimana jalan kendaraan melalui lajur kanan sehingga letak roda kemudi di sebelah kiri. Sementara Indonesia dan Inggris menerapkan aturan left-driving countries dalam berlalu lintas, sehingga letak setir berada di sebelah kanan. “Oh, maaf aku lupa jika di Eropa letak kemudi di sebelah kiri.” Kata Yogy bingung saat salah membuka pintu. Aku begitu menikmati berada dalam Mercedes matic-nya. Joknya empuk dan isi kabin mobil terasa mewah. Anak-anak terlihat sangat antusias walau mengantuk, mereka juga ikut menikmati sensasi Mercedes yang aku tidak tahu seri berapa tapi aku rasa ini seri baru. Mobil pun melaju menuju tujuan.
Yogy duduk di kursi depan dan mengobrol banyak hal dengan Mohamed. Mohamed, aku perkirakan usianya sekitar 35 tahun, wajahnya campuran antara Eropa dan Afrika Utara, yah khas wajah Maroko. Rambutnya berwarna kemerah-merahan dan sedikit ikal, kulitnya putih, hidungnya mancung tentu saja, perawakannya sedang dan mata besar cekungnya mengingatkanku pada Babe, ayahku. Mohamed lancar menggunakan Bahasa Inggris. Entah darimana dan siapa duluan yang membuka percakapan hingga akhirnya, kami sama-sama yakin bahwa kami adalah sesama saudara Muslim yang dipertemukan. “Masya Allah, Masya Allah, Masya Allah…” adalah kata-kata yang sering dia dan suamiku ucapkan. Kami begitu tak menyangka disambut oleh saudara di perantauan. Alhamdulillah, kami merasa begitu dimudahkan, dan disambut oleh indahnya Islam di tanah Eropa.
Mohamed sesekali tampak berpikir saat berbicara, ia terkadang mengucapkan Bahasa Prancis lalu menganulirnya lagi dengan Bahasa Inggris. “Kalian tahu Berber (Barbar)? Nenek moyangku berasal dari bangsa Berber. Kampung halamanku di Marrakesh, sekali-kali kalian harus datang.” Mohamed menceritakan tentang keluarga dan kampung halamannya. “Oh iya, tentu saja, aku ingin sekali mengunjungi Maroko. Tapi saat aku melihat tiket pesawat dari Inggris ke Maroko rasanya cukup mahal, jadi aku membawa keluargaku keliling Eropa.” Ujar Yogy. “Ya, bulan ini memang harga tiket ke Maroko gila-gilaan. Kamu bisa mencobanya saat bulan Agustus nanti, biasanya harga tiket membaik.” Saran Mohamed. Kota Brussel tengah malam masih terlihat sepi dan damai. Jam di dashboard mobil menunjukkan angka 01.30. “Berapa lama kita akan sampai di penginapan?” Tanya Yogy. “Tidak jauh, paling lama 30 menit, aku rasa bisa lebih cepat.” Jawab Mohamed mantap.
Aku mulai cemas waktu sahur ternyata hitungan jam lagi. Namun kami belum mengisi perut dengan makanan berat, untuk sahur pun kami tidak memiliki bekal. Bahkan kami belum menunaikan sholat Maghrib dan Isya yang rencananya akan kami jama’ di penginapan. Tidak disangka begitu banyak kendala di perjalanan hingga bertemu dengan Mohamed sekarang. “Pukul berapa kita sahur nanti?” Yogy bertanya pada Mohamed. Sebenarnya ini hanya pertanyaan pemastian karena kami tinggal mencari Brussel prayer time di internet. “Fajar terbit sekitar pukul 3. Sebentar, aku pastikan dulu…” Kata Mohamed sambil sibuk mencari sesuatu di laci dashboard lalu dia membuka kotak penyimpanan di dekat persneling. Selembar kertas dia berikan kepada Yogy. “Kamu bisa melihat jadwal sholat Brussel di lembar itu. Aku berikan untukmu.” Kata Mohamed sambil memberikan lembaran jadwal sholat. “Oh Brother, aku tidak begitu memerlukannya. Kami cukup satu hari di Belgia lalu besok kami akan ke Belanda. Ini kamu simpan saja atau untuk yang lainnya, barangkali ada yang lebih membutuhkan.” Yogy menolak secara halus. “Kamu yakin?” Tanya Mohamed memastikan. “Tentu saja.” Kata Yogy sambil tersenyum.
“Bagaimana komunitas muslim di sini? Apakah cukup banyak? Dimanakah kami dapat menemukan masjid?” Yogy bertanya banyak hal. Sungguh akupun sangat antusias dan ingin rasanya terlibat dalam obrolan menarik mereka. “Kami di sini menggunakan Madzhab Hanafi, masjid cukup mudah ditemui. Kebanyakan Muslim di sini adalah imigran, sama sepertiku yang berasal dari Maroko.” Cukup banyak obrolan kami di sepanjang jalan. “Apakah kamu bisa menggunakan Bahasa Arab?” Tanya Yogy, karena Maroko menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa resminya. “Tidak begitu fasih hanya mengerti sedikit. Aku bisa menggunakan Bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Belanda, Jerman….” Katanya sambil tertawa. “Masya Allah!Itu keren! Aku hanya bisa menggunakan Bahasa Arab ‘Illa Qalilan Qalila’ hahahha…” Seloroh Yogy, yang artinya dia tidak bisa menggunakan Bahasa Arab kecuali sedikit demi sedikit.
Sungguh obrolan tengah malam itu sangat menakjubkan. Sesekali Yogy menggunakan Bahasa Arab sederhana dengan Mohamed lalu mereka tertawa. Kami yang baru berjumpa malam itu terasa seperti saudara yang lama tidak pernah bertemu. “Ummi…pulang…pulang…” Aisyah mulai merajuk. Anak-anak terlihat sangat kelelahan. “Sebentar ya, sebentar lagi sampai.” Kataku menenangkan anak-anak.
“Selain Maroko aku juga ingin mengunjungi Gibraltar.” Kata Yogy. “Oh benarkah? Nenek moyangku berasal dari Gibraltar, kamu tahu nama Gibraltar itu berasal dari kata Jabal Thariq ( Gunung Thariq), namun lidah bangsa Eropa susah menyebutnya hingga terciptalah nama Gibraltar.” Kata Mohamed dengan senang menjelaskan. “Ya, aku tahu, bagaimana Thariq bin Ziyad dengan kecerdasan dan keberaniannya berhasil mengIslamkan daerah Andalusia ..”Timpal Yogy. “Ya…Thariq Bin Ziyad. Beliaulah yang meluaskan dakwah Islam sampai ke tanah Eropa.” Jelas Mohamed. Masya Allah! ini memang bukan kali pertama kami bertemu dengan Muslim asing, dan ini juga bukan kali pertama kami merasa seperti bertemu dengan teman dekat. Entah kenapa obrolan kami dengan Mohamed begitu terasa seperti saudara dekat apalagi saat kami memiliki persepsi dan pengetahuan yang sama tentang Islam dan sejarahnya. Islam benar-benar menyatukan kami yang berasal dari bangsa yang berbeda.
Thariq Bin Ziyad, adalah nama seorang Jenderal pasukan Muslim pada masa kekhalifahan Bani Umayah yang saat itu ditugaskan untuk mengIslamkan daerah semenanjung Iberia. Semenanjung yang kini menjadi negara Portugis dan Spanyol, saat itu merupakan wilayah Kerajaan Hispania yang dikuasai oleh Kristen Visigoth. Thariq Bin Ziyad berhasil menaklukan Iberia pada pertempuran Guadalate di tahun 711 M. Thariq cerdas dalam mengatur strategi perang, ia memerintahkan untuk membakar semua kapal saat mendarat di bukit Calpe dan berpidato di depan anak buahnya untuk membangkitkan semangat mereka:
Tidak ada jalan untuk melarikan diri! Laut di belakang kalian, dan musuh di depan kalian: Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian sekarang lakukan kecuali bersungguh-sungguh penuh keikhlasan dan kesabaran.
Pasukan yang dipimpin oleh Thariq Bin Ziyad terkobar semangatnya, tak ada pilihan untuk pulang dan menyerah karena tidak ada armada yang bisa membawa mereka pulang. Satu-satunya jalan adalah menang! Strategi Thariq ini juga merupakan strategi terbaik jika pasukan Muslim mengalami kekalahan. Jika kalah, pasukan Kerjaan Visigoth tidak akan bisa berbalik menyerang wilayah Bani Umayyah dengan menggunakan kapal-kapal pasukan Muslim.
Daerah yang dikuasai kekhalifahan Bani Umayyah ini disebut dengan Kerajaan Al-Andalus atau Andalusia yang saat ini meliputi daerah Portugis, Spanyol dan Prancis Selatan. Andalusia melalui enam periode kepemimpinan Umat Muslim dengan berbagai macam bentuk pemerintahan. Masa-masa kejayaan Islam di Bumi Andalusia berpengaruh besar terhadap kemajuan negara-negara Eropa pada masa itu. Selama 8 abad lamanya Bumi Andalusia bagaikan lentera membuka tabir kegelapan negara-negara Eropa. Di semenanjung itulah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam, arsitektur, seni, karya sastara dan tatanan masyarakat yang paling tinggi di zamannya. Melalui Andalusia inilah Muslim berdiaspora menuju tanah Eropa, awal mula kebangkitan semangat Renaissance Bangsa Eropa.
Jika kita mendengar kota-kota destinasi wisata: Barcelona, Madrid, Sevilla, Cordova, Granada. Maka sesunguhnya pada abad ke-7 hingga menjelang abad ke-15 kota-kota tersebut termasuk dalam wilayah pemerintahan Islam. Kejayaan selama 8 abad lamanya, akhirnya berakhir ketika Granada jatuh ke tangan aliansi kerajaan-kerajaan Kristen pada tahun 1492 M. Sinar-sinar Islam di tanah Eropa mulai meredup perlahan sejak 5 abad yang lalu, namun jejak kejayaan masih terasa di beberapa kota di Spanyol dan Portugis.
Dan di tengah-tengah kami sekarang, terdengar cerita kehebatan Thariq Bin Ziyad langsung dari Mohamed, seorang yang silsilahnya berasal suku bangsa Berber. Menurut sejarawan, Tharid Bin Ziyad berasal dari Berber (Barbar). Namanya diabadikan menjadi nama bukit pintu gerbang Spanyol dari arah Maroko yang sebelumnya bernama Calpe dan kemudian dikenal dengan Jabal Thariq (Gibraltar) untuk mengenang kehebatannya yang mendarat di bukit tersebut saat penaklukan semenanjung Iberia.
Mobil berhenti di pertigaan saat lampu merah. Pandanganku mengitari jajaran pertokoan di sisi jalan. Semua tutup, yah di Eropa biasanya pukul 5 sore pertokoan sudah tutup. Apalagi tengah malam menjelang Fajar seperti ini, aku masih berharap masih menemukan cafeteria di sekitar penginapan nanti untuk hidangan sahur kami. Kalaupun tidak ada ya, jatah biscuit anak-anak dan air mineral akan menjadi hidangan buka dan sahur kami malam mini.
Lampu hijau menyala, Mohamed bersiap melajukan mobil kembali. Namun tiba-tiba mesin mobil mati. Mohamed mencoba beberapa kali menstarter mesin, namun tidak ada tanda-tanda akan menyala sama sekali. Aku kembali cemas, ini mobil matic, tak mudah jika berhubungan dengan elektriknya. Mobil benar-benar tidak bisa dinyalakan. Mohamed berusaha berbagai cara selama kurang lebih 5 menit namun gagal. “Maaf, maaf atas ketidaknyamanan ini. Aku tidak menyangka terjadi di tengah malam begini. Sungguh selama ini tidak ada masalah, baru kali ini saja mobil ini bermasalah.” Katanya merasa bersalah. Mohamed sibuk menghubungi teman-temannya melalui selulernya. Cukup lama kami terdiam dalam mobil, sementara itu Aisyah sudah tertidur pulas namun Harits masih terjaga. Astaghfirullah, hatiku menciut rasanya begitu banyak halangan dan rintangan. Setelah sebelumnya pesawat keberangkatan dari Inggris ke Belgia delay, sedikit ketegangan di dalam bus dari bandara Charleroi, terkatung-katung di Stasiun Brussels, dan sekarang terkatung-katung di tengah jalan raya kota Brussels.
Untungnya posisi mobil di tepi jalan sehingga tidak membuat kemacetan, namun cukup menarik perhatian. Seorang pria tua berjalan sempoyongan di trotoar nampak memperhatikan kami dari kejauhan lalu mendekat sambil mengatakan sesuatu. Aku rasa, dia orang mabuk. Mohamed mengusirnya. Lalu sebuah mobil bercat putih menghampiri mobil kami dari sisi kiri, menawarkan bantuan. Terlihat pengemudi mobil putih keturunan ras kulit hitam, terlihat gantungan bertuliskan Arab menggantung di spion dalam mobil. Mungkin ini teman Mohamed, namun Mohamed menolaknya. “Tenang saja, aku sudah menghubungi temanku. Dia akan datang sebentar lagi.” Mohamed menghibur kami, walau wajah paniknya tak bisa ditutupi. Mohamed sibuk menghubungi teman-temannya yang lain, dia sepertinya bertanya bagaimana menangani mobil matic yang mati total. Berbagai cara ia lakukan sesuai intruksi temannya melalui handphone, namun tetap saja tidak ada hasil menggembirakan.
Tiba-tiba entah kenapa, aku terkesiap. Pikiran buruk bermunculan, jangan-jangan ini jebakan kriminalitas. Siapa tahu ini hanya modus, lalu datang orang jahat merampok kami di tengah jalan. Ahh, entahlah aku rasa mugkin aku berlebihan atau memang pikiranku buruk sekali. Akhirnya, buru-buru aku beristighfar dan memohon ampun atas segala kesalahan. Aku pandangi wajah anak-anakku. Aku peluk Aisyah yang tertidur di pangkuan. Semoga segera ada pertolongan.
Kami menunggu cukup lama, mungkin sekitar 10 menit. Rasanya waktu lambat berjalan karena suasana yang tegang. Mohamed menelpon kembali temannya. Kami tidak mengetahui apa yang dia bicarakan dengan temannya karena semuanya penuh dalam bahasa Prancis. “Temanku sudah mendekati posisi kita. Sebentar lagi kalian akan aku pindahkan ke mobil temanku agar kalian bisa melanjukan perjalanan.” Jelas Mohamed. “Apakah ini tidak merepotkan?” Yogy bertanya hati-hati. “Oh tentu saja tidak, ini tanggung jawabku Brother. Maafkan atas kejadian yang tidak mengenakkan ini ya.”Kata Mohamed.
Mobil sejenis van berhenti di belakang mobil kami. Mohamed segera keluar dari mobil dan menyambut kedatangan temannya. Kami turun dari mobil, teman Mohamed membukakan pintu geser di kursi belakang mobil. “Silakan naik Madam…”Sambutnya. Oh, aku bersyukur supir kali ini juga menggunakan Bahasa Inggris tidak seperti kebanyakan warga Belgia. Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam mobilnya, berlindung dari terpaan angin yang dingin. Di saat inilah pikiran buruk kembali membuatku terkesiap, bagaimana jika mereka adalah komplotan penjahat lalu menculik kami. Segera aku kembali memperbanyak dzikir. Terlihat Mohamed dan temannya mengobrol sebentar lalu berpisah. Yogy menyusul menaiki mobil dan duduk di depan di sebelah posisi supir. “Assalamu’alaikum…” Sapa supir dan Yogy hampir berbarengan kepada Mohamed seiring dengan melajunya mobil van kami. Ah, driver kali ini ternyata juga seorang Muslim. Ya, walau sedari tadi saat Mohamed menelpon temannya sudah kuduga bahwa ia menelpon sesama muslim karena pada tengah malam seperti ini kiranya semua orang tertidur, kecuali jika yang tengah mempersiapkan sahur atau tengah beribadah malam ramadhan.
Driver kali ini terlihat kental nuansa wajah Arab. Perawakannya besar dan tambun seperti kebanyakan postur Arabian lainnya. Jenggot dan jambangnya terlihat menghiasi wajahnya, dia menggunakan kacamata. Suaranya berat dan ramah. Aku salut, tengah malam seperti ini di waktu manusia kebanyakan beristirahat, dia masih mengangkat telepon Mohamed dan segera membantu Mohamed untuk mengantarkan kami. “Yaa…kami tidak menyangka ada masalah dengan mobil Mohamed.” Kata Yogy membuka percakapan. “Aku baru saja tidur dan langsung terbangun saat Mohamed menelponku, hahaha..” Supir tertawa ringan menanggapi. Dia menyalakan radio, tebak saluran apa yang dia putar? Entah saluran radio apa, tapi terdengar suara penceramah radio menggunakan Bahasa Arab. Aku tidak menyangka umat Islam mempunyai radio tersendiri di Brussel dan masih mengudara tengah malam, oh atau ini khusus saat Bulan Ramadhan? Aku tidak tahu.
“Aku Yogy berasal dari Indonesia. Siapa namamu Brother?” Tanya Yogy. “Masya Allah, Indonesia! Ya aku tahu, Indonesia adalah Negara mayoritas Muslim bukan? Aku Mohamed, aku keturunan Maroko, sama seperti Mohamed (driver sebelumnya).” Kata Mohamed. “Oh, jadi namamu Mohamed juga? Wow, lalu apa perbedaan namamu dengan namanya? Apakah ada kata kedua setelah nama Mohamed?” Tanya Yogy antusias. “Tidak, namaku Mohamed, nama dia juga Mohamed. Hanya Mohamed, tidak ada nama selanjutnya. Kamu tahu? Mohamed adalah nama paling popular di Brussel. Hampir setiap bayi laki-laki muslim yang lahir diberi nama Mohamed.” Mohamed menjelaskan dengan bangga, santai dengan suaranya yang merdu dan ramah.
“Pada awalnya aku juga ingin menamai anak lelakiku Muhammad, namun aku merasa nama itu terlalu banyak yang menggunakannya. Lalu aku memberi nama anakku dengan nama Harits. Kamu tahu ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa nama yang paling baik adalah Hammam dan Harits. Ya…seperti itulah.” Cerita Yogy. “Oh nama yang bagus juga.” Kata Mohamed.
Aku begitu terkesima, aku mendengar pembicaraan mereka dengan rasa gak karuan. Haru, bahagia, senang, tersentuh, bersyukur. Ya Allah, bertambah iman kami pada-Mu Ya Allah. Memang bukan sekedar nama, tapi dari sebuah nama bisa menunjukkan identitas, harapan, dan doa. Dan di Belgia inilah kami dengan mudah menemukan Islam dari sebuah nama.
Ya Allah, betapa indah malam ini, Engkau mempertemukan kami dengan saudara Muslim di tanah Eropa. Dibalik setiap kesusahan-kesusahan yang kami temui sepanjang perjalanan menuju Belgia, ternyata menggiring kami untuk dipertemukan Mohamed dan Mohamed. Mohamed, sebuah nama yang begitu membahagiakan bagi kami saat berjumpa dengannya.
Mohamed adalah nama popular di Brussel. Bagaimana bisa? Sebuah nama Islam menjadi nama popular di tanah Eropa? Nyatanya saat aku mencari info tentang muslim di Belgia, agama Islam adalah agama paling banyak pemeluknya setelah agama Kristen. Maka tak heran dikarenakan Belgia berpenduduk sedikit, jika setiap Muslim memberi nama anak lelaki mereka Mohamed tentu saja Mohamed menjadi nama popular. Sama seperti di Indonesia bukan? Kebanyakan muslim yang dikaruniai bayi lelaki memberi nama anak mereka dengan Muhammad. Walau kebanyakan pula setelah kata Muhammad disambung dengan nama lainnya.
“Apakah kamu menggunakan Bahasa Arab?” Yogy bertanya penasaran. Aku rasa ini pertanyaan wajar, karena sejak tadi radio yang diputar adalah ceramah Bahasa Arab yang tidak kami pahami. “Tentu saja! Aku bisa berbahasa Arab, Inggris, Spanyol, Prancis, Belanda, Jerman. Bagaimana denganmu? Apakah kamu menggunakan bahasa Arab?” Tanyanya. “Masya Allah Brother, tentu saja aku bisa illa qalilan qalila (kecuali sedikit demi sedikit)” Seloroh Yogy. Bagiku tidak kaget mendengar Yogy menggunakan kalimat itu. Selama aku membersamainya di Inggris, Yogy sering menggunakan seloroh itu kepada Muslim Arab yang ia temui. “Kamu besar di Belgia?” Tanya Yogy penasaran. “Iya, orang tuaku sudah lama di Belgia, aku lahir dan besar di Belgia. Namun ayahku mengajariku Bahasa Arab, sehingga aku cukup fasih menggunakannya.” Jelas Mohamed. Belgia adalah negara multicultural yang mempunyai 3 bahasa resmi: Prancis, Belanda dan Jerman. Tidak heran penduduk di sini dapat menguasai banyak bahasa.
Aku selalu kagum dan tersentuh bila mendengarkan cerita sosok orang tua yang mendidik anaknya sungguh-sungguh. Kali ini aku mendapatkan cerita bagaimana ayah Mohamed mengajarinya Bahasa Arab hingga fasih, meski Mohamed lahir dan hidup di Belgia. Bahasa kampung halamannya dan tentu saja bahasa Al Qur’an kitab suci yang kami anut. Kepada orang-orang yang mengerti Bahasa Arab tentu aku merasa sangat iri, karena lebih mudah memahami Al Qur’an langsung dari bahasa aslinya.
Waktu kebersamaan kami dengan Mohamed hanya sebentar, aku rasa tak lebih dari 15 menit lalu kami telah sampai di depan penginapan. Rasa lega tentu saja, rasanya ingin membaringkan tubuh, menselonjorkan kaki, membersihkan badan, mengganti baju anak-anak yang terkena tumpahan makanan-minuman, sholat dan tentu saja memersiapkan sahur yang tinggal satu jam lagi. Walau dalam hati aku ciut, saat melihat ke arah penginapan yang gelap gulita, pintu tertutup rapat dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Kami datang terlalu malam, pukul 2 pagi , padahal check in terakhir seharusnya pukul 11 malam.
*bersambung

Train Hostel tempat kami menginap
One thought on “Trip To Belgium: Bertemu Mohamed Dan Mohamed”